Ketiadaan akta nikah menjadi kendala bagi warga Singkawang terutama
yang ber-etnis Tiongha (non muslim). Persoalan pencatatan nikah di Capil sudah
sejak dahulu pernah ditanganinya. Keengganan warga memenuhi ketentuan ini
disebabakan berbagai faktor.Diantaranya karena takut saat cerai harta dibagi
dua. Padahal, harta yang dimiliki merupakan harta turun temurun.

Dia menikah dan dikaruniai tiga anak.
Sekarang Akiong baru rasakan, saat istri meninggalkan Akiong dan membawa anak-anak, Akiong kesulitan akses. Tidak ada bukti tertulis bahwa anak-anak itu darah daging Akiong, karena memang mereka tak mencatatkan pernikahan di Capil,
Menghadapi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan hukum
perkawinan, keberadaan akta nikah sangat penting bagi pemenuhan hak perempuan
dan anak.
Jika pasangan tidak mempunyai akta nikah, maka pernikahan dianggap tidak pernah ada dan sangat berdampak negatif bagi perempuan, apabila terjadi masalah dalam perkawinan. Kalau terjadi perselisihan atau perceraian, perempuan tidak akan mendapatkan haknya sebagai istri, baik hak atas harta perkawinan, hak perwalian anak saat perceraian maupun hak waris bila suaminya meninggal dunia.
Jika pasangan tidak mempunyai akta nikah, maka pernikahan dianggap tidak pernah ada dan sangat berdampak negatif bagi perempuan, apabila terjadi masalah dalam perkawinan. Kalau terjadi perselisihan atau perceraian, perempuan tidak akan mendapatkan haknya sebagai istri, baik hak atas harta perkawinan, hak perwalian anak saat perceraian maupun hak waris bila suaminya meninggal dunia.
1. DASAR HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2
ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama
(KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu
dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
2. PENCATATAN BAGI PENGANUT KEPERCAYAAN
Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang pencatatan
perkawinan bagi penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya nomor
024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa KCS tidak berwenang menolak
pencatatan penganut kepercayaan. Sampai saat ini ternyata KCS tidak mau
melaksanakan putusan-putusan tersebut dan KCS menyatakan tunduk pada keputusan
Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang KCS mencatat perkawinan
penganut kepercayaan.
Perbuatan KCS ini jelas bertentangan dengan keputusan-keputusan yang
telah ada dan bertentangan pula dengan pasal 16 ayat 2 Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi dengan UU
No. 7 tahun 1984 yang intinya menyatakan kewajiban bagi negara peserta, termasuk
Indonesia, menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran
perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.
3. AKIBAT HUKUM TIDAK DICATATNYA PERKAWINAN
a. Perkawinan Dianggap tidak Sah
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di
mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor
Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga
Ibu
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang
tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan).
Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik
isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak
menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI
dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri
Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu
mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.
4. SAHNYA PERKAWINAN
Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan).
Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah
atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah
melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka
perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan
masyarakat.
Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak
dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau
untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman
adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi
pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah
Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).
5. PENGESAHAN PERKAWINAN
Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan
perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat
nikahnya ke Pengadilan Agama.
Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat
nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah
jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Ini
berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU tersebut mau
tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian.
Tentu ini sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan
perceraian. Selain itu proses yang akan dijalanipun akan memakan waktu yang
lama.
6. CATATKAN PERKAWINAN ANDA
Pencatatan perkawinan amatlah penting, terutama untuk mendapatkan
hak-hak Anda, seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak Anda. Jadi sebaiknya,
sebelum Anda memutuskan menjalani sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah
syiri’), pikirkanlah terlebih dahulu. Jika masih ada kesempatan untuk menjalani
perkawinan secara resmi, artinya perkawinan menurut negara yang dicatatkan di
KUA atau KCS, pilihan ini jauh lebih baik. Karena jika tidak, ini akan membuat
Anda kesulitan ketika menuntut hak-hak Anda ( Hendra Effriendi,SH)